Anak-anak Dalam Kotak

Namaku DindaUmurku tujuh tahun, kelas satu SD. Aku anak kedua dari tiga bersaudara, satu-satunya anak perempuan dalam keluargaku. Ibuku dan bapakku buruh pabrik. Ibuku selalu berangkat bersama denganku tiap pagi dan pulang menjelang jam empat.Bapakku kadang masuk pagi kadang masuk malam. Aku tinggal di dalam satu kotak berukuran 4x3m. Kami tinggal berlima dalam kotak itu. Kadang salah satu dari saudaraku tidur di tempat kakek dan nenekku yang kotaknya tak jauh dari kotak orang-tuaku. Ya, kakek dan nenekku juga tinggal dalam satu kotak. Orang-orang dewasa di sekitarku menyebut kotak kami sebagai kamar indekost. Sampai saat ini aku masih kesulitan membaca. Ibuku pernah dipanggil ke sekolahku karena keterlambatanku dalam membaca. Kata ibuku, aku anak paling bandel diantara kakak dan adikku. Aku tidak tahu kenapa ibuku bilang seperti itu.

Sebenarnya aku tidak bandel, cuma aku kesulitan beradaptasi dengan kotak itu. Semua rutinitas keluargaku ada dalam kotak itu. Aku tidak mempunyai kamar sendiri. Jangankan kamar sendiri, ruang makan, dapur, ruang tamupun tak ada. Ya hanya kotak itu satu-satunya ruang yang kami punya. Itupun hanya menyewa.

Ada kasur, bantal, almari, perlengkapan dapur, kompor, televisi dan masih banyak barang lain yang memenuhi kotak itu. Dalam keadaan seperti itu aku harus belajar. Aku ternyata gagal beradaptasi dengan kotak ini. Entahlah, mungkin mimpiku terlalu tinggi untuk anak seorang buruh. Aku cuma ingin punya rumah, bukan kotak.

Mungkinkah di negara yang kata banyak orang mempunyai banyak kekayaan alam ini, mimpi untuk punya rumah begitu sulit diwujudkan?

 

Semarang, 240314

(aku dedikasikan untuk anak-anak Indonesia yang masih tinggal bersama orangtuanya di kamar kost).

 

 

 

Soto Kesehatan

Gerobak soto itu terletak di perempatan gang kampung. Ada ember berisi air yang diletakkan di sebelah timur perempatan itu. Untuk memberi tanda, agar ember itu terlihat dari arah utara yang menandakan bahwa gerobak soto itu ada dan siap melayani pembeli.

Soto itu kuberi nama soto kesehatan bukan dilihat dari komposisi campuran antara kuah dan taoge plus bakmi putih juga suwiran daging ayamnya, tapi karena gerobak soto itu terletak di depan PUSKESMAS. Karena terlalu sering aku membeli soto di situ, seorang tetanggaku pernah nyeletuk, “Wah, beli soto kesehatan ya….”.  Jadilah mulai saat itu, aku memberi julukan soto kesehatan.

Pedagangnya seorang ibu yang berperawakan gemuk dan berambut keriting yang berumur setengah baya. Aku selalu kagum dengan caranya melayani pembeli. Bukan dari gayanya mencampur adonan soto itu ataupun dari keramahannya, tapi dari cara dia melayani berapapun uang yang diberikan.

Di saat harga minyak yang melambung tinggi dan tentu saja menaikkan semua harga kebutuhan pokok, ibu penjual soto itu tetap mampu melayani uang limaratus yang diberikan padanya. Pembelian dengan uang duaribu rupiah adalah rekor harga yang tinggi.

Kadang, sehabis menyatap soto itu, aku sering berpikir tentang keuntungan yang ibu penjual soto itu dapatkan. Bagaimana cara dia memutar kembali uang yang dia peroleh untuk mengembalikan modal. Jujur, sampai detik ini aku masih bingung  dan kagum dibuatnya.

Ibu penjual soto itu mampu berjualan sekaligus berderma. Baginya mungkin berjualan hanya sekedar untuk membantu orang-orang yang membutuhkan sarapan dan perkara keuntungan adalah nomor sekian. Mungkin relasi dengan banyak orang, mampu membuat perut banyak orang menjadi kenyang adalah keuntungan yang berharga baginya.

Dan memang soto itu tidak pernah tersisa. Mulai berjualan pukul setengah delapan, biasanya pukul sebelas siang sudah mendorong gerobaknya untuk pulang. Tanpa obral janji dan iklan di televisi, soto itu sudah laris manis. Iklannya hanya melalui mulut ke mulut.

Aku hanya berpikir, seandainya para calon pemimpin negeri ini yang sedang sibuk mengobral janji lewat televisi itu mempunyai mental berderma dan mengutamakan kepentingan orang banyak seperti ibu penjual soto itu, pasti rakyat akan berbondong-bondong memilih mereka, tanpa harus susah payah mengeluarkan dana milyaran untuk beriklan.

Karena rakyat kecil seperti kami tidak butuh janji. Kami butuh bukti nyata. Kami butuh pemimpin yang mampu memanusiakan dan menyejahterakan rakyat kecil. Seperti ibu penjual soto itu, yang mampu menolong orang dan memanusiakan sesamanya.

Jogja, menjelang dini hari setelah ngobrol dengan mbak Ana dan jeng Retno.

Mimpi Itu Menjadi Nyata

Pesan 5…… Aduh ikut gembira. Biar nanti saya SMS. Tgl 6 saya di Graha Saba UGM…… ( Dari : Prie GS….5:38pm  3/6/08 ).

Hari itu saya menerima pesan dari mas Prie, pesan yang membuat saya kalang kabut luar biasa. Maklum, karena sudah lama saya tidak berjalan-jalan di dunia maya, jadi saya tidak sempat menengok jadwal tur mas Prie.

Kalang kabut karena tanggal enam berarti kurang tiga hari lagi setelah saya menerima pesan tersebut. Banyak hal harus saya persiapkan untuk datang ke acara tersebut. Maklumlah, saya ibu rumah tangga dengan satu anak lelaki ( yang susah sekali untuk diam ), jadi pekerjaan domestik yang tiada habisnya itu harus saya bereskan segera.

Yang pertama harus saya pikirkan adalah bagaimana mencapai tempat lokasi. Karena saya mengandalkan bus kota kemana-mana, jadi harus saya pikirkan baik-baik, jarak antara saya turun dari bis kota menuju lokasi. Apa harus naik becak atau bagaimana. Karena ada “ekor” yang selalu saya bawa kemanapun saya pergi. Anak lelaki kecil yang paling ganteng itulah ekor saya.

Dengan “ekor” tersebut, saya harus juga mempertimbangkan berapa jarak yang harus saya tempuh dengan jalan kaki, karena tidak ada bus kota yang melewati lokasi tersebut pada sore hari. Belum lagi angkutan apa yang akan saya pakai untuk pulang. Akhirnya saya kontak adik saya yang indekost di dekat lokasi untuk menumpang tidur di tempatnya barang semalam supaya kalau acara selesai sampai petang, saya  tidak kebingungan untuk pulang, karena  suami sedang ada pekerjaan di luar kota jadi tidak akan ada yang menjemput saya.

Sebelum saya berangkat, saya sudah mengajak tetangga saya untuk mengikuti acara tersebut. Tetangga saya sebenarnya mau datang, tetapi karena jam acara tersebut mundur, akhirnya tetangga saya membatalkan rencananya. Jadilah saya berangkat bersama anak lelaki saya.

Satu hari menjelang acara, saya nyaris putus asa, karena tidak ada dana menganggur untuk acara tersebut. Saya hanya mampu diam, tapi dalam diam saya memutar otak. Saya coba kontak salah satu teman untuk mencari pinjaman, tetapi saya harus kecewa karena teman saya tidak bisa memberi pinjaman. Sungguh, saya sudah putus asa, sampai saya lupa bahwa sehari menjelang hari H ada POSYANDU untuk anak saya. Untunglah, suara keras dari mikrofon kampung mengingatkan saya.

Sebelum berangkat POSYANDU, suami saya pulang dan mengatakan dengan pelan tapi terdengar jelas di telinga saya bahwa hari itu dia belum mendapat uang hasil kerjanya. Aduh…! Tentu saya bertambah panik. Mau saya omeli suami saya, tetapi melihat wajahnya yang kelelahan, sungguh saya tidak tega. Akhirnya saya putuskan untuk mengantar si kecil ke POSYANDU dulu sambil mencari udara segar.

Sepulang dari POSYANDU, pucuk dicinta ulam tiba, tiba-tiba suami saya memberikan uang dari hasil jerih-payahnya, suami saya bilang kalau baru saja ada orang datang mengantarkannya. Ah, ternyata Tuhan memang luar biasa! Doa dalam diampun tetap mampu didengarnya.

Akhirnya keesokan pagi saya berangkat. Setelah semua persiapan usai, tiba-tiba adik ipar saya menawarkan diri untuk memboncengkan saya. Kebetulan dia akan meluncur menuju ke arah yang sama. Lagi-lagi Tuhan menolong saya.

Sampailah saya dan anak saya ke lokasi acara tersebut. Banyak mata keheranan melihat kedatangan saya. Seorang perempuan dengan satu anak dan barang bawaan yang nggak ringkas sama sekali.  Sayapun sebenarnya tak kalah kagetnya menghadapi situasi yang demikian tidak bersahabat. Tapi bukan saya namanya kalau tidak mampu mengatasi keadaan sepele seperti itu.

Setelah membayar uang masuk, saya duduk manis, mengikuti acara tersebut. Ternyata sesi mas Prie, masih cukup lama. Beberapa menit berlalu, kemudian datanglah mas Prie, idola saya tersebut. Dengan kepercayaan diri yang sempurna, mas Prie duduk di deretan terdepan.

Saya coba kirim pesan ke mas Prie, karena mas Prie berjanji pada saya akan memberikan sebuah buku untuk saya. Buku yang beliau tulis sendiri dan saat ini begitu laris di pasaran, novel berjudul IPUNG. Setelah ada laporan pengiriman pesan, saya lihat mas Prie mengedarkan pandangannya ke segenap ruangan. Mungkin mencari saya. Ternyata benar, mas Prie melambai ke arah saya dan meminta saya untuk duduk di sampingnya.

Sebenarnya saya agak sungkan, tapi setelah saya bernegosiasi dengan anak saya dan anak saya menyetujui, akhirnya kami putuskan untuk menghampiri mas Prie. Akhirnya saya duduk bersebelahan dengan mas Prie. Aduh… betapa groginya. Untunglah ruangan tersebut berpendingin udara jadi keringat saya tidak meleleh menganak sungai meski tidak beruntung untuk anak saya karena kemudian hidungnya pilek.

Giliran mas Prie berceramahpun tiba. Peserta yang mayoritas mahasiswa  yang semula  tegang tiba-tiba mencair ketika  mas Prie yang berceramah. Bahkan  tawapun bertebaran dimana-mana. Mas Prie memang luar biasa!  Membuat suanana begitu hidup dan menggairahkan.

Akhinya setelah tanya jawab, acarapun usai. Setelah saya berbasa-basi sebentar dan meminta tanda tangan mas Prie, saya dan anak saya pulang. Keluar dari ruang pertemuan, saya melihat mas Prie dari kejauhan menuju mobilnya. Karena tidak ada angkutan umum yang melewati lokasi tersebut, saya pulang jalan kaki.

Tidak saya sangka, tiba-tiba mas Prie memanggil nama saya dan menawarkan tumpangan kepada saya dan anak saya. Sebenarnya saya mau menolak tawaran itu, tetapi dengan pertimbangan saya membawa anak saya dan bawaan saya cukup merepotkan, akhirnya saya menerima tawaran tersebut.

Sungguh! Saya grogi berat harus duduk bersebelahan lagi di dalam mobil. Lebih grogi lagi karena jalan untuk keluar dari lokasi ternyata ditutup semua dan saya tidak bisa menjadi pemandu yang baik… aduh…!!!!!

Akhirnya setelah berputar-putar dan bertanya, kami menemukan jalan keluar. Sebenarnya jarak antara gedung pertemuan dengan tempat kost adik saya tidak terlalu jauh, tetapi karena grogi, jarak tersebut terasa jauuuhhh… sekali.

Saya meminta untuk turun di pinggir jalan masuk gang. Sebenarnya mas Prie, menawarkan untuk mengantar sampai depan rumah kost, tapi saya sudah tidak sanggup menahan haru saya. Apalagi saya agak lupa dengan lokasi kost adik saya, jadi daripada nyasar bareng-bareng, lebih baik saya cari sendiri bersama anak saya.

Turun dari mobilpun mas Prie menyempatkan diri untuk turun dulu, membawakan tas saya dan menggandeng anak saya sambil menunggu saya turun dari mobil…. aduh, terpaksa saya mengaduh lagi karena terlalu  terharu dengan sikap mas Prie yang luar biasa baiknya.

Setelah mobil dan staf mas Prie hilang dari pandangan, saya menyeberang. Sepanjang jalan menuju kost adik saya, rasanya saya masih tidak percaya dengan peristiwa yang baru saja saya alami.

Lima belas tahun bukan waktu yang sebentar untuk menunggu mimpi saya ini menjadi kenyataan. Dan ternyata setelah mimpi itu menjadi kenyataan, kenyataan itupun tetap membuat saya masih seperti bermimpi. Tak percaya!

Ah, mas Prie memang sosok yang luar biasa. Mampu memotivasi siapa saja. Yang meski sudah begitu terkenal dan berlimpah rejeki, tetap saja membumi dan sederhana.

Tidak sia-sia rasanya meneruskan kekaguman saya kepada mas Prie….


Yogyakarta, sambil menunggu anakku yang pulas dan menanti kedatangan suamiku tercinta.

Catatan : terimakasih untuk semua yang mendukungku sehingga mimpiku menjadi nyata : mas Ari ( bapaknya anakku ), Doni dan Chandra ( adik-adik iparku ), dik Desi ( adikku kandung ), Tossa ( saudara kami ).

Sanggar Kreatif Anak Bukit Hijau

( Sebuah tulisan untuk seorang saudara pergaulan yang sedang “lelah” ).

Tadi siang saya berkunjung ke rumah seorang sahabat yang terletak di desa yang sangat jauh dari keramaian. Desa itu bernama desa Ngijo, Sitimulyo, Piyungan, Bantul. Rumah sahabat saya itu terletak di punggung bukit. Sempat gugup juga melihat jalannya yang naik tajam. Sementara anak saya malah berteriak-teriak kagum melihat pemandangan yang begitu indah di kanan-kiri jalan.

Tapi begitu sampai ke rumah sahabat kami, rasa ngeri itu hilang seketika. Bagaimana  tidak, pohon-pohon segar tersebar dimana-mana. Sementara desain ruang tamu yang terletak di luar rumah induk sungguh sangat nyaman.  Apalagi begitu melihat ke bawah, yang terhampar hanya hijau sawah yang terpetak-petak laksana permadani raksasa.

Setelah bertemu dengan sahabat kami, ada banyak cerita yang kami bagi. Salah satunya adalah tentang sanggar yang didirikan oleh sahabat kami itu. Saudara Giman.

Sanggar itu itu bernama Sanggar Kreatif Anak Bukit Hijau. Sanggar yang didirikan tahun 11 Oktober 2007 yang merupakan tempat anak-anak Sekolah Dasar berkumpul untuk berlatih kesenian yang lebih fokus ke bidang teater.

Sanggar yang sederhana, yang merupakan bentuk keprihatinan dari Ki Senthot ( nama beken Mas Giman di sana ), atas maraknya miras di kalangan anak muda dan juga pergaulan bebas dan efek negatif globalisasi lainnya yang tidak bisa dihindari karena pengaruh media.

Sanggar yang didirikan atas dana swadaya dan idealisme pemuda bernama Giman. Pemuda yang sederhana yang masih melanjutkan pendidikan di Fakultas Seni Murni Jurusan Seni Patung angkatan 2005.

Tapi dari kesederhanaan itu sudah banyak kegiatan-kegiatan positif yang sudah mereka persembahkan untuk masyarakat. Diantaranya adalah pentas teater anak dengan iringan kreasi musik kenthongan* di Desa Tutup Muntilan pada peringatan 1 Muharram 2007 kemarin.

Mereka berlatih seminggu dua kali dengan durasi pertemuan selama satu jam. Banyak yang diajarkan di sanggar tersebut, terutama tentang pengenalan budaya Jawa yang mulai memudar tergilas modernisasi. Ada pengenalan tentang huruf Jawa, tembang macapatan, pengenalan dolanan bocah dan tembang anak-anak Jawa.

Pernah juga mengadakan acara lintas budaya dengan warga negara asing yang berasal dari Eropa tetapi berdomisili di Singapura. Acaranya adalah acara ulang tahun yang dikemas dengan bagus sehingga tercipta perpaduan budaya antara budaya barat dan budaya timur.

Sungguh luar biasa semangat yang dimiliki sahabat saya tersebut. Tempat yang jauh dan terpencil tidak menyurutkan langkahnya untuk menyelamatkan tunas-tunas bangsa yang kelak akan mewarisi negeri kita yang indah ini.

Hari yang melelahkan tapi sangat menyenangkan, karena kami bertemu dengan pemuda yang masih mempunyai idealisme selayaknya pejuang tahun empat puluh lima.

Ayo maju terus mas Giman!! Biarkan orang-orang yang tidak mampu melihat dengan hati nurani itu berkata semau mereka. Selama kita tidak merugikan orang lain, tampil beda itu sah-sah saja.

*kenthongan adalah alat musik  pukul yang terbuat dari bambu yang dilubangi tengahnya dan pada jaman dulu biasa digunakan untuk memberi-tahu warga apabila terjadi bencana.

Yogyakarta, 1 mei 2008.   Bau harum tanah basah.


Antara yang Pusat dan yang Daerah

Beberapa hari yang lalu, suami saya ngomel-ngomel. Waktu itu kami sedang makan bersama.

Dia makan sambil ngomel nggak karuan. Tapi justru karena itu, makannya jadi banyak.. hahaha. Dia jengkel sekali ketika mendapat kerja borongan sebagai kuli entertainer sebuah acara hajatan salah satu stasiun televisi swasta dari ibukota.

Kesal dan jengkel bukan karena pekerjaan yang berat ataupun tentang uang bayaran yang diterima, tapi kesal karena dia harus bekerja-sama dengan orang “kota”. Mungkin suami saya yang terlalu sensitif sebagai orang “udik”.

Dia bercerita bahwa orang-orang “kota” itu gayanya sok-sokan. Sok pintar, sok ngatur, petentang-penteteng. Simak saja kutipan omelannya berikut ini: “Huh….!!!! Mentang-mentang orang metropolitan, kerja aja kacamata bertebaran di sekujur tubuh, belum handphone yang digantung sana-sini, pakai laptop aja praktis kok mesti pakai banyak telephone genggam…. Udah gitu gayanya ngatur-ngatur kaya kita nggak tahu aja kerja beginian. Padahal kualitas kerja mereka juga sama kaya kita…”

Hahaha… saya cuma berani terbahak dalam hati tapi di luar tentu saya memberinya senyum yang termanis untuk menyiram kemarahannya supaya mereda. Bukankah salah satu kewajiban istri adalah menjadi penyejuk bagi suami yang sedang menggelegak?

Tapi memang saya sendiri sering heran dan geli dengan kelakuan orang-orang dari pusat itu. Pernah saya dan Mbakyu saya yang tinggal di kota Magelang tersenyum simpul mendengar pernyataan Mbakyu ipar saya yang datang dari metropolitan yang seperti ini, “Oh, saya kira cuma di tempat tante M saja (yang kebetulan tinggal di Jakarta) yang perabotannya memakai listrik. Ternyata di sini juga pakai listrik semua.” Memang setelah harga minyak tanah yang melambung tinggi dan susah dicari, Mbakyu saya memutuskan untuk mengganti peralatan dapurnya dengan peralatan listrik.

Pernah juga seorang teman yang sebetulnya juga berasal dari udik tapi kemudian bekerja di Jakarta, terheran-heran dengan perangkat internet yang ada di runah yang kami tinggali. Dia tidak menyangka sama sekali, bahwa rumah yang sangat sederhana ini, ternyata dilengkapi dengan perangkat internet.

Bulik saya yang tinggal di bawah kaki merapi juga pernah menemukan perihal yang lucu tentang perilaku orang metropolitan tersebut. Suatu ketika datang sebuah keluarga yang menengok anaknya yang ber-kuliah kerja nyata di desa Bulik saya tersebut. Mobil yang mereka tumpangi, mereka penuhi dengan banyak jerigen yang berisi air, mereka pikir di daerah bulik saya tidak ada air bersih. Begitu sampai di desa Bulik saya, mereka kecele, ternyata air bersih begitu tumpah ruah mengaliri sawah yang subur menghijau. Dan sekali lagi, hahaha… untuk perilaku orang-orang “kota” yang lucu itu.

Begitulah sekelumit cerita lucu tentang perilaku orang-orang yang merasa begitu maju dan memandang daerah dengan sebelah mata.

Yogyakarta, 22 April 2008. Sore yang agak mendung sambil menunggu suamiku mereparasi lukisan.

AKARANGIN Malaikat Kecilku

Akarangin namanya. Lengkapnya Galahgading Akar Angin yang tertulis di akta kelahirannya. Nama yang diberikan suamiku untuk anak lelaki kami. Nama yang diperoleh satu hari menjelang selapanan (upacara ucap syukur atas kelahiran seorang bayi). Suami saya memang agak kesulitan memberi nama untuk anak pertama kami.  Maklum suami saya hanya mempersiapkan satu nama untuk seorang anak perempuan Embun Putih Seruni. Ternyata yang lahir adalah anak laki-laki.

Sekarang berumur tiga tahun lebih tujuh bulan. Anak lelaki yang menjadi semangat dalam kehidupan pernikahan kami.

Gading, kami biasa memnggilnya. Anak laki-laki yang lucu, yang selalu bertanya tentang apa saja. Anak lelaki yang terbiasa dengan pemandangan laki-laki bertatto, memakai anting dan berambut panjang. 

Setiap pagi, tidak lupa dia mengucap salam untuk ibunya, “Selamat pagi Ibu cantik…”. Salam dari Gading itu yang menjadi semangat buat saya menjalani hari-hari yang kadang begitu membosankan.

Bukan hanya salam tetapi bila Gading membutuhkan sesuatu pasti memanggil saya dengan sebutan mesra… Ibu cantik… aha. Sampai adik ipar saya dan teman-teman suami yang mendengarnya tersenyum geli sekaligus dongkol… hahaha.

Kehadiran Gading membuat saya yakin bahwa saya memang perempuan seutuhnya, meski dulu sebelum menikah, tidak terbayang bahwa saya akan mempunyai anak kandung dalam kehidupan saya.

Kehadiran Gading juga membuat saya bahagia karena meskipun sebagai perempuan saya cukup “berantakan” tapi ternyata saya sanggup mengalahkan ego saya pribadi. Saya mau dan mampu mengandung, melahirkan dan merawatnya.

Meski Gading kadang sewot sama saya, karena dalam mendidik Gading, saya sering memposisikan dia sebagai teman. Kadang waktu saya sedih, dia saya ajak berbagi. Meski masukan dari Gading tidak nyambung sama sekali dengan masalah yang saya hadapi tetapi perhatian dia dalam mendengarkan saya sudah sangat mengurangi beban saya.

Kegemarannya menggambar dengan berbagai media mengalir dari kebiasaan bapaknya yang seorang pekerja seni dan menekuni dunia seni murni. Apapun bisa dia jadikan media kalau keinginannya menggambar sedang muncul. Bahkan kadang-kadang, kulit ibunyapun dia jadikan media. Ya itu tadi, karena terlalu sering dia melihat orang bertatto.

Begitulah Gading, malaikat kecil saya yang menyempurnakan hidup saya sebagai seorang perempuan.

Yogyakarta, rumah bambu 26 Maret 2008.

Ketika Gading sudah terlelap. 

 

Untuk Seorang Sahabat….

(Untuk A yang jauh di seberang pulau…)

 

Selamat malam sahabat….

Malam ini hujan membasahi kotaku. Entahlah, apakah di kotamu juga turun hujan yang sama…. Malam ini, tiba-tiba aku ingat kamu. Semoga kamu baik-baik saja, meski aku tahu, kondisimu tidak seperti itu. Tapi sekedar berharap, aku pikir tidak ada salahnya…

Aku merindukanmu sahabat. Masih ingat tujuh tahun yang lalu ketika pertama kali kita bertemu di kota tua Jogjakarta? Di persekutuan doa kita bertemu.

Setelah aku memberikan kesaksian, kamu menghampiriku kemudian kamu ulurkan tanganmu. Kita berkenalan dan membuat janji untuk bertemu lagi di persekutuan doa itu. 

Setiap satu minggu sekali kita bertemu. Tidak banyak yang kita lakukan, kita hanya bertanya kabar, kemudian kamu aku tinggalkan karena aku sibuk menyambut teman-teman baru yang datang.

Di akhir acara, ketika kamu mau pulang, biasanya kamu menghampiriku lagi. Menjabat erat tanganku untuk kemudian kita larut dalam doa dimana kita saling mendoakan satu dengan yang lainnya.

Pertemuan kita yang paling rutin adalah ketika kamu terbaring sakit di rumah sakit Bethesda. Setiap pagi aku menjengukmu. Sekedar bertanya kabar untuk kemudian aku dukung kamu dalam doa supaya kamu segera pulih.

Sebenarnya saat itu mulai tumbuh perhatian yang lebih dalam kepadamu. Tapi aku tidak berani mengatakannya. Aku takut, akan terluka.

Terlalu banyak rintangan yang akan menghadangku jika aku nekat untuk mencintaimu. Keluarga besarku pasti tidak akan mendukungku. Bapakku tidak pernah merelakan anak perempuannya mendapatkan pasangan dari suku yang berbeda. Keluarga besarkupun berbeda keyakinan dengan keluarga besarmu.

Aku tahu, kamupun menyimpan perasaan yang sama. 

Tapi tidak pernah ada pernyataan darimu. Kamu menyayangiku, itu yang aku tahu. Kamu peduli padaku sepeduli aku padamu.

Hebat ya kita, bisa menyikapi perasaan kita dengan kedewasaan yang nyaris sempurna. Kita tahu, bahwa kita akan saling terluka seandainya tembok yang kokoh dan tinggi itu kita terjang. Kita tahu bahwa menikah tidak cukup hanya dengan cinta.

Dan kita sanggup melewati itu semua. Kamu memang bukan lelaki terhebat, tapi kamu lelaki terbaik yang aku punya setelah Bapakku dan anakku.

Kamu bisa menghormatiku. Tidak pernah sehelai rambutpun kamu sentuh aku dengan kekurangajaran khas laki-laki. 

Tapi sayang, aku tidak sanggup bertahan sendiri. Seperti kamu tetap sendiri sampai saat ini.

Ada luka yang terlihat jelas di matamu ketika aku memperkenalkan laki-laki yang sekarang menjadi suamiku kepadamu. Kamu cuma berkata : ” Yuli… hati-hati…..”

Seandainya aku masih diberi kesempatan untuk bertemu denganmu… ingin rasanya aku kembali membagi semua ceritaku kepadamu.

Setiap tahun bertambah aku selalu ketakutan menghitung sisa hidupmu. Maaf, tapi ini kenyataan yang selalu menghantuiku mengingat penyakitmu belum ada obatnya hingga saat ini.

Aku juga tidak bisa mendampingimu dan secerewet dulu lagi dalam mengingatkanmu untuk meminum obat.

Sahabat…. aku rindu kamu.

malam, ketika hujan membasahi kota Jogja…. 3 Februari 2008 

 

Oleh-oleh dari Bapak

Bapak saya seorang pensiunan guru sekolah dasar. Sekolah terakhir tempat beliau mengajar berada di kompleks perumahan militer. Maklum, saya lahir dan dibesarkan di kota kecil di Jawa Tengah yang di sana terdapat beberapa sekolah militer.

Dulu, sewaktu saya kecil, saya sering protes terhadap Bapak saya. “Kenapa sih, Bapak nggak pernah bawa makanan kecil kalau pulang dari bepergian? Nggak seperti Ibu….”

Bapak cuma tersenyum dan berkata, “Bapak nggak bisa jajan dan nggak pernah mampir di warung…” Uh… sebel sekali mendengar jawaban seperti itu.

Tapi meski Bapak tidak pernah membawa makanan kecil sebagai oleh-oleh, Bapak selalu membawa bacaan. Entah buku cerita ataupun koran.

Saya masih ingat, bacaan-bacaan yang Bapak bawa, ada si Kuncung, Ceria dan Bobo. Bahkan untuk Bobo, Bapak pernah berlangganan cukup lama. Saya masih ingat, saya selalu berebut dengan adik dan kakak saya untuk menjadi pembaca pertama majalah tersebut kala loper majalah tersebut datang ke rumah kami.

Setelah kami semua lulus sekolah dasar, Bapak mengganti Bobo dengan surat kabar harian. Ada Suara Merdeka, Wawasan, Cempaka Minggu Ini, tabloid dari yang klenik sampai tabloid politik. Nyaris Bapak tidak pernah berhenti berlangganan surat kabar ataupun tabloid.

Sekarang ini, Bapak berlangganan majalah berbahasa Jawa. Mungkin ini ada hubungannya dengan adik bungsu saya yang pernah ambil jurusan mata kuliah Sastra Nusantara di kampus birunya Jogja.

Saya tidak pernah mengerti, mengapa Bapak selalu berlangganan majalah, tabloid dan surat kabar. Tapi ternyata efek samping dari kebiasaan Bapak tersebut luar biasa, saya dan dua saudara perempuan saya semua memakai kacamata minus karena terlalu sering membaca… haha.

Bapak tidak pernah menyesali ini karena ketiga putrinya tumbuh menjadi perempuan yang cerdas… ehm, dan punya keberanian untuk menentukan pilihan juga mandiri dan berani hidup prihatin.

Selain efek kacamata minus tadi, efek samping buat saya juga cukup mengejutkan, saya selalu melihat buku seperti camilan yang siap makan. Bahkan suami saya kadang cemburu melihat keasyikan saya membaca.

Wah… ternyata oleh-oleh dari Bapak saya sungguh banyak manfaatnya. Dan saya menyadarinya setelah saya berumur tiga puluh tahun… keterlaluan…!!!

untuk bapak Darsono tercinta, sampai kapanpun, aku akan selalu mencintaimu.

tak peduli ruang dan waktu akan memisahkan kita,

cintaku tetap utuh untukmu….

Jogja, Rabu 29 Januari 2008

Rejeki Daun Cincau

Ada daun cincau yang tumbuh dengan pesat di belakang dan depan rumah tempat saya tinggal . Lebat sekali. Ada beberapa daunnya yang mulai mengering. Maklum, rumah tempat saya tinggal berpenghuni orang muda yang selalu bergerak kian kemari, jadi untuk mengurus hal-hal kecil seperti daun cincau itu, belum terlalu banyak waktu untuk merapikannya.

Sebenarnya, setiap saya melihat lebatnya daun cincau tersebut, saya prihatin. Ingin saya merapikannya. Tetapi waktu saya selalu habis untuk mengurus si kecil dan tetek bengek pekerjaan domestik yang tidak ada habisnya.

Sampai suatu ketika, saya membeli gado-gado di tetangga saya. Kebetulan tetangga saya ini juga berjualan es campur, lotek dan aneka masakan matang siap santap.

Saya melirik es campur yang dijualnya. Ada warna merah untuk gulanya. Padahal anak saya menyukainya. Aduh… tapi kenapa harus merah? Saya tahu, itu bukan warna alami. Meski mungkin memang pewarna makanan yang diijinkan, tapi saya selalu khawatir dengan efek samping dari pewarna makanan tersebut. Terutama untuk anak saya. Terutama karena dia menyukai segala makanan yang berlabel es.

Secara spontan, saya menawarkan daun cincau kepada tetangga saya untuk bebas mengambilnya. Saya tahu daun cincau bisa dibuat semacam agar-agar. Dan biasanya gula campur untuk daun cincau itu adalah gula merah yang lebih sehat dari gula pasir yang diberi pewarna.

Dan ternyata keberuntungan memang ada dalam genggaman saya. Tetangga saya menyatakan setuju dengan penawaran saya.

Selang satu hari kemudian, tetangga saya itupun memetik daun cincau yang tumbuh di balakang rumah yang saya tinggali. Tetangga saya mengatakan bahwa dia akan membayar daun cincau itu setelah dia memetik beberpa kali. Jujur, saya terkejut dengan pernyataan itu. Karena dari awal niat saya tidak untuk menjual daun cincau itu. Saya hanya bermaksud memberikan secara cuma-cuma supaya daun cincau itu lebih berguna untuk orang lain. Dan karena niat awal saya memang demikian, maka saya dengan halus menolak penawaran dari tetangga saya.

Siang tadi, ketika saya benar-benar tidak punya uang sepeserpun (meski keadaan ini sering kami alami), tiba-tiba tetangga saya tadi datang menyerahkan sebungkus plastik. Saya tanya apa isinya, tetangga saya mengatakan, bahwa isi bungkusan tersebut adalah lotek lengkap dengan krupuk dan es cincau.

Saya terkejut dengan pemberian yang tiba-tiba itu. Tapi belum habis rasa terkejut saya, tetangga saya segera berlalu tanpa saya kuasa menolak pemberian yang sangat berharga itu. Memang jumlahnya tidak seberapa. Tapi suasana yang sangat mendukung ketika itu, dimana saya benar-benar tidak punya uang untuk menghadirkan makan siang di meja makan, kehadiran tetangga itu bagai kedatangan malaikat yang membawa mukjizat Tuhan yang mendengar teriakan saya meski saya hanya berteriak dalam diam.

Terima kasih Tuhan….

Engkau bisa hadir lewat daun cincau yang tidak sempat aku rapikan.

Terima kasih juga untuk budhe Bun, untuk lotek dan es cincaunya.

Yogyakarta, pagi hari yang tidak juga sepi.